Senin, 10 Maret 2008

Artikel Sejarah : Peristiwa Madiun

Peristiwa Madiun, dahulu tidak pernah disebutkan sebagai Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI), melainkan dikenal sebagai Madiun Affairs, juga di berbagai penulisan sebelum tahun 1965.

Salah satu sumber referensi saya yang sangat penting adalah almarhum ayah saya, Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung (10.3.1910 – 29.4.2002). Catatan dr. W. Hutagalung diberikan kepada saya pada bulan Agustus 1979, ketika mengunjungi saya di Hamburg, Jerman.

Sebelum Re-Ra (Reorganisasi dan Rasionalisasi) TNI, dr. W. Hutagalung berpangkat Kolonel. Dalam pertempuran 28-29 Oktober 1945 di Surabaya Hutagalung memimpin pasukan yang mengepung tentara Inggris di daerah Darmo, dan menerima Kapten Flower (berkewarganegaraan Australia) yang membawa BENDERA PUTIH. Salah seorang ajudan Hutagalung di Surabaya adalah Wijoyo Suyono, yang kemudian menjadi KSAD dengan pangkat Jenderal bintang empat. Sebelum agresi milter Belanda ke II selain bertugas di Kementerian Pertahanan di Yogya, juga sebagai seorang dokter spesialis paru, dr. W. Hutagalung ikut merawat Panglima Besar (Pangsar) Sudirman yang menderita penyakit paru. Bulan September 1948 dr. W. Hutagalung diangkat menjadi perwira teritorial yang ditugaskan membangun jaringan gerilya di Jawa Tengah dalam persiapan menghadapi agresi militer Belanda ke II. Selama agresi militer II, Hutagalung menjadi penghubung antara Panglima divisi II dan III dengan Pangsar Sudirman. Markas Hutagalung di lereng Gunung Sumbing bersama Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng.

Dr. W. Hutagalung pada waktu itu juga adalah atasan Letkol Suharto, komandan Wehrkreis 10. Setelah berakhirnya agresi militer II, dr. W. Hutagalung diangkat menjadi Kepala Staf Q (Kwartiermeestergeneraal Staf “Q”) dan memimpin delegasi TNI dalam perundingan serah-terima perlengkapan KNIL kepada TNI Januari 1950 di Bandung. Pihak Belanda diwakili oleh Kepala Staf tentara Belanda Mayor Jenderal van Langen. Wakil Hutagalung dalam perundingan tersebut adalah Kolonel GPH Jatikusumo [hal ini dituturkan oleh alm. Kol. TNI.(Purn). Alex E. Kawilarang pada 9 November 1999 di Gedung Joang 31. Menurut beliau, pada waktu itu kepangkatan tidak memegang peran penting, yang menentukan adalah jabatan yang dipegang oleh seseorang].

Akhir tahun 1949 sampai awal tahun 1950, dr. W. Hutagalung bersama keluarga tinggal di Paviliun rumah Pangsar Sudirman di (nama dahulu) Jl. Widoro No. 10, Yogyakarta, dan ikut dalam tim dokter yang merawat Jenderal Sudirman hingga beliau meninggal akhir Januari 1950.

Dr. W. Hutagalung hadir hampir dalam setiap perundingan penting yang dilakukan oleh Jenderal Sudirman, baik sebelum agresi militer II, dan setelah agresi militer II selesai. Hutagalung selalu hadir bersama Jenderal Sudirman, karena selain sebagai Kepala Staf “Q”, juga sebagai satu-satunya perwira yang juga adalah dokter yang ikut merawat Pangsar, yang penyakit parunya semakin parah akibat berbulan-bulan kurang dirawat selama perang gerilya.

Hutagalung juga hadir dalam pertemuan pada 2 Agustus 1949 sore hari di rumah Pangsar di Jl. Widoro No. 10. Hadir antara lain Kolonel Nasution, Kolonel Hidayat, Kolonel Simatupang, Kolonel Gatot Subroto, Kolonel Bambang Sugeng, Kolonel GPH Jatikusumo dan Letkol dr. W. Hutagalung. Dalam pertemuan itu, Jenderal Sudirman meminta pendapat para perwira tersebut mengenai persyaratan gencatan senjata yang telah disetujui oleh pimpinan sipil RI, tanpa melibatkan unsur pimpinan militer. Walau pun sebagian besar perwira Angkatan Perang sangat kecewa atas tindakan pimpinan sipil yang pada fase terakhir perjuangan kelihatannya ingin jalan sendiri dan mengabaikan peran TNI dan juga PDRI, namun semua sepakat, bahwa pada saat itu perlu dihindari perpecahan, apalagi antara pimpinan militer dengan pimpinan Pemerintah Republik.

Akhirnya Panglima Besar menerima pendapat tersebut dan mengirim utusan ke Istana, guna menyampaikan kepada Presiden Sukarno, bahwa Angkatan Perang Republik Indonesia menyetujui gencatan senjata yang sebelumnya telah disetujui oleh pimpinan sipil RI, dan agar Presiden Sukarno mengumumkan hal itu.

Sebenarnya, Pangsar telah menulis surat tertanggal 1 Agustus 1949 mengenai pengunduran dirinya dari jabatan Panglima Besar TNI, dan bahkan dari dinas aktif TNI. Pangsar menerima pendapat para perwira TNI yang hadir, sehingga surat yang telah ditandatangani tersebut tidak jadi dikirim ke Presiden Sukarno.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar