Sabtu, 15 Mei 2010

Antara Dua Pelangi



PENULIS : FIAN RAINBOW
Novel ini mengisahkan Kisah Antara Rico, Ciko dan Camar. Rico yang sudah lama  menaruh hati pada Camar mendapat kesempatan menegnalnya lebih dekat setelah mereka bertabrakan saat hendak menaiki angkot yang sama. sebagai sahabat Rico, Ciko membantu Rico agar bisa menjadi kekasih Camar, namun ada yang tidak diketahui Rico bahwa selama ini Ciko menaruh hati padanya.........




SATU
Sambil berlari kecil Camar mengejar angkot yang baru saja berlalu dihadapannya, saking terburu-burunya iapun bertubrukan dengan lelaki setengah gondrong yang saat itu hendak naik ke angkot tersebut. Camar terperanjat kaget tapi melihat lelaki tersebut tersenyum Camarpun ikut tersenyum “Maaf” ucapnya lirih.
            “Saya yang seharusnya minta maaf” lelaki tersebut menimpali.
            Detik berikutnya mereka telah berada dalam angkot yang sama. Suasana hening, hanya alunan musik membahana sebagai penghibur para penumpang yang sesak dalam angkot. Sesekali sigondrong melirik Camar yang kebetulan duduk di sampingnya, yang dilirik hanya cuek.
            Satu persatu penumpang mulai turun, tinggallah Camar dan lelaki gondrong beserta ibu setengah baya. “Mau turun di mana ?” sigondrong memberanikan diri mengawali pembicaraan. Camar hanya diam, entah pura-pura cuek atau mungkin tak tahu kalau pertanyaan itu ditujukan padanya. Yang bertanya garuk-garuk kepala “Sialan.. cuek banget nih cewek” batinnya. “Hm maaf punya uang kecil, soalnya aku kehabisan untuk membayar angkot ini” ucapnya lagi seraya mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan. Camar menggeleng masih dengan sikap cueknya.
            “Kalau begitu bolehkah aku pinjam duitnya lima ribu rupiah insyaallah nanti dikembalikan” lelaki tersebut memelas.
            Kali ini Camar tersenyum, dibuka dompetnya dan dikeluarkannya selembar uang lima ribuan lalu diberikan kepada lelaki itu. Namun seperti tadi tak sepatah katapun terlontar dari lisannya.
            “Terima kasih” sigondrong mengambil uang dari tangan Camar. “Oh iya kalau boleh tahu kamu tinggal dimana ?”
            “Memangnya kenapa ?” akhirnya Camar bersuara.
            “Cuma nanya, kalau mau balikin uang kamu gimana ?”
            “Tak usah dikembalikan, saya ikhlas kok !”
“Tak boleh seperti itu, bagaimanapun juga ini adalah utang yang harus aku bayar !”
Sekali lagi Camar tersenyum, “Jujur juga nih cowok,” batinnya. Dilirik lelaki di sampingnya yang menurut penilaiannya lumayan tampan, hidungnya mancung serta alisnya yang tebal belum lagi tatapan matanya.
“Kok melihat aku seperti itu ?” sigondrong salah tingkah.
“Memangnya nggak boleh ?”
“Ya boleh-boleh aja sih, tapi..  eh ngomong-ngomong dari tadi kita belum kenalan” lelaki tersebut mengulurkan tangannya dan disambut oleh Camar. “Rico” ucap sigondrong lantang.
“Camar” ucap Camar ramah, “Eh kiri depan pak sopir..!” serunya tiba-tiba.
Angkotpun menepi, buru-buru Camar turun setelah membayar angkot tersebut. Sekilas dilayangkan senyumnya ke arah Rico dan wanita setengah baya tadi. “Mbok aku duluan ya!’
Wanita tadi membungkuk “Iya non” jawabnya.
“Eh sampai lupa alamat kamu dimana ?” sigondrong yang mengaku bernama Rico nyelutuk.
“Jalan Gelatik Raya Nomor 16” sahut Camar seraya beranjak meninggalkan angkot tersebut.
Angkotpun kembali melaju di dalamnya tinggal Rico dan ibu setengah baya tadi. Tak hentinya Rico tersenyum nyengir, senyum kemenangan. Sebenarnya di sakunya saat itu masih tesisa uang kecil lima ribu perak, diraba saku celananya lalu dikibas-kibaskan uang itu. Ibu setengah baya tak hentinya memandangi Rico. Menurut penilaiannya mungkin lelaki itu kurang waras, yang dilirik tetap saja cuek yang ada dalam benaknya saat itu hanya bayangan Camar, ya Camar seorang.
Musik terus mengalun seirama laju angkot yang terus berpacu selaju pikiran Rico yang berkelana.

Jumat, 12 Maret 2010

Surat Untuk Karmila

Hari ini perempuan itu datang lagi dengan wajah dan ekspresi yang sama seperti minggu-minggu sebelumnya. Sudah enam bulan terakhir ini  pada setiap minggunya dia datang untuk mengecek surat untuknya.
”Maaf Mas, apa ada surat untuk yang bernama Karmila?” ucapnya padaku dengan nada ragu
Tunggu sebentar ya Mbak”ucapku sambil memilah-milah surat yang telah disortir.
Selang beberapa saat kemudian aku tak kunjung menemukan surat untuknya
Maaf mbak surat untuk anda tidak ada” ucapku
Kalo begitu ini, ada surat untuk saya kirim lagi ” kata perempuan itu sambil memberikan surat yang ditujukan kepada ”Akzan” yang beralamat di Jakarta, dan kemudian pergi meninggalkan Kantor Pos.

Aku tidak tahu pasti apa gerangan yang sedang dialami perempuan itu. Perempuan yang berusia sekitar 23 tahun itu seolah-olah sedang dalam penantian. Menurut kabar dari orang-orang yang mengenalnya sekitar dua tahun yang lalu dia bertunangan lalu kemudian tunangannya itu ke Jakarta dan sampai sekarang tak ada kabar.

Seminggu berselang, perempuan itu datang lagi dengan tujuan yang sama seperti minggu-minggu sebelumnya, mengecek surat untuknya dan jika tidak ada maka dia akan mengirim surat lagi ke alamat yang sama. Akupun mencoba memberanikan diri untuk menannyakan langsung kepada perempuan itu saat dia duduk di kursi antrian setelah menanyakan suratnya.

Perkenalkan mbak, nama saya Aris, boleh saya duduk?” ucapku membuka pembicaraan sambil menjulurkan tangan kananku untuk bersalaman
Silahkan..” ucap perempuan itu sambil berjabat tangan denganku
Maaf mbak, kalau boleh tau Akzan ini siapa? Dari dulu sampai sekarang suratnya ditujukan kepada dia?
Perempuan itu hanya diam saja, aku pun juga ikut diam, tapi tidak berselang lama kemudian diapun menjawab pertanyaanku
Akzan itu tunangan saya” jawabnya singkat
Maaf mbak, kenapa tidak di telepon atau di SMS saja?” ucapku
Saat dia ke Jakarta dia belum pernah memberi nomor teleponnya disana, bahkan alamatnya di Jakarta saja aku tahu dari surat terakhir yang dikirimnya” ucapnya tegas
Oh... sabar yah mbak...”
Terima kasih Mas

Seminggu berselang perempuan itu datang lagi, namun setelah itu dia sudah tidak kunjung datang lagi ke kantor pos selama sebulan. Hari-hari pun seperti biasanya kegiatanku di kantor pos melayani masyarakat sambil menyortir surat-surat yang masuk, namun sepintas aku lihat surat yang ditujukan kepada Karmila.
Jam menunjukkan pukul 14.00, saatnya untuk mengantarkan surat-surat yang sudah disortir. Surat untuk Karmila aku urutkan pada urutan paling bawah. Setelah semua surat telah kuantarkan maka giliran rumah Karmila. Pintu kuketuk tak lama berselang Karmila pun keluar dengan wajah tenang dan segera kuberikan surat untuknya

ini surat untuk Mbak” ucapku sambil tersenyum
Kulihat wajahnya yang heran seolah tak percaya dan tak lama kemudian tersenyum sambil mengambil surat itu dari tangan kanannku.
Dengan tergesa-gesa diapun membuka surat itu, namun tak lama kemudian wajah cerianya berubah seolah hatinya sedang dicabik-cabik namun tak lama kemudian wajah tenangnya kembali muncul , entah apa isi surat itu dan sepertinya jauh dari harapan dan apa yang dinantikannya selama ini. Kucoba untuk bertanya apa yang sedang dia alami
Apa yang terjadi mbak, apa ada yang bisa saya bantu?”
Dengan menghela nafas sejenak diapun menjelaskan padaku
Mungkin inilah jawaban atas penantian dan doa-doaku selama ini, surat ini biar Mas Aris saja yang simpan” sambil mengembalikan surat itu padaku

Dalam perjalanan pulang aku membaca Surat yang ditujukan untuk Karmila

Kepada Adinda Karmila

Dinda..
Maaf kan semua salahku selama ini, setiap minggu surat dinda kuterima namun tak pernah aku balas walaupun sebenarnya dinda hanya ingin tahu keadaanku lewat surat-surat yang dinda kirim.  

Dinda..
Maaf kan aku juga karena mungkin harus berterus terang bahwa sejak enam bulan yang lalu saya sudah berkeluarga di sini tanpa memberitahukan pada dinda dan melanggar pertunangan kita. Surat ini juga aku kirim atas permintaan isteri saya saat dia melihat surat-surat dinda.

Dinda..
Maaf kan aku dan tidak usah menantikan kedatanganku

Wassalam
Akzan



Dalam perjalanan pulang aku renungkan bahwa telah kulihat sikap kesetiaan dari seorang perempuan muda saat berulang kali dia menanyakan surat yang selalu dinantikan dan kulihat pula ketegaran seorang perempuan saat mengetahui bahwa apa yang dianantikannya selama ini adalah kekeliruan.