Sabtu, 05 Desember 2009

Pengantar Pemrograman C++

PEMROGRAMAN C++
BAB I. PENDAHULUAN
C++

A.        C++ dan C

Berbicara tentang C++ dan C sebagai bahasa pendahulunya,
C merupakan termasuk bahasa pemrograma n tingkat menengah. Pencipta C adalah
Brian W. Kernighan dan Dennis M. Ritchie pada tahun 1972. C merupakan bahasa
pemrograman terstruktur yang membagi program ke dalam sejumlah blok (sub
program). Tujuannya adalah untuk memudahkan dalam pembuatan dan pengembangan
program. Program yang ditulis dengan C mudah sekali dipindahkan dari satu jenis
mesin ke mesin lain. Hal ini karena adanya standarisasi C yaitu ANSI (American
National Standards Institute) yang menjadi acuan para pembuat compiler C. C++
diciptakan satu dekade setelah C. C++ diciptakan oleh Bjarne Stroustroup dari
Laboratorium Bell, AT&T pada tahun 1983. Pada awalnya C++ diberi nama “A better
C”. Nama C++ sendiri diberinama oleh Rick Mascitti. Adapun  anda ++ berasal dari
operator increment pada bahasa C.

Jumat, 04 Desember 2009

Dasar Dasar C++ "Bg. V"

#include <iostream.h>
#include <conio.h>


int main()
{
            int array[10];

   int i, cari, mark=0;
   for (i=0; i<10;)
   {

            i++;
            cout<<"Input bilangan ke = : "<<i<<" = ";
      cin>>array[i];
   }

   cout<<"Bilangan yang dicari : ";
   cin>>cari;
   for(i=1; i<10; i++)
   {
            if(array[i]==cari)
      {
                        mark = 1;
            cout<<"Bilangan ada di array ke "<<i<<endl;
      }
   }
      if(mark==0)
      cout<<"Bilangan tidak ada di array";
      cout<<"Tampilkan data hasil input : \n";
      for(i=1; i<10;i++)
      {
            cout<<"Bilangan ke "<<i<<" adalah
"<<array[i]<<endl;
            }

                        getch();
      return(0);
}



Dasar Dasar C++ "Bg. IV"



#include <iostream.h>
#include <conio.h>

void TukarAB(int &a, int &b)
{
            int temp;
   temp = a;
   a=b;
   b=temp;
   cout<<"Dalam fungsi TukarAB, nilai a= "<<a<<" nilai b =
"<<b<<endl;
}

int main()
{
            int a, b;
   cout<<"Masukkan nilai a = "; cin>>a;
   cout<<"Masukkan nilai b = "; cin>>b;
   cout<<"Nilai a dan b sebelum masuk fungsi TukarAB ";
   cout<<"a= "<<a<<" b= " <<b<<endl;;

   TukarAB(a, b);
   cout<<"Nilai a dan b sesudah keluar fungsi tukarAB, ";
   cout<<"a = "<<a<<" b= "<<b<<endl;
   getch();
   return(0);
}




Dasar Dasar C++ "Bg. III"


#include <iostream.h>
#include <conio>
int main ()
{
int bil,pangkat,hasil=1;
cout<<"Masukkan bilangan yang akan dipangkatkan : ";
cin>>bil;
do
{ cout<<"Masukkan pangkat dari bilangan tersebut : ";
cin>>pangkat;
} while(pangkat<0);

while(pangkat) // berhenti apabila pangkat=0
{ hasil*=bil;
pangkat--;
}

cout<<"Hasilnya Adalah : "<<hasil;
getch();
return (0);
}




Kamis, 03 Desember 2009

Dasar Dasar C++ "Bg II"


#include <iostream.h>
#include <conio.h>

int main()
{
            int i=4;
   cout<<"Nilai i awal = "<<i<<endl;
   cout<<"NIlai i setelah i++ = "<<i++<<endl;
   cout<<"Nilai i setelah ++i = "<<++i<<endl;
   i++;
   i = i+4;
   cout<<"Nilai i setelah i+++4  "<<i <<endl;
   ++i;
   i = i +4;
   cout<<"Nilai i setelah ++i+d = "<<i<<endl;
   cout<<"Nilai i terakhir = "<<i<<endl;
   getch();
   return(0);
}





Dasar-Dasar C++ "Bg.. I"



#include <iostream.h>
#include <conio.h>

void main()
{
            int a=100;
   int b;
   float c;
   b = a/2; c=b/2;
   cout<<"Nilai b = "<<b<<" Nilai c = "<<c;
   //b=0;
   c=(a%b);
   cout<<"Nilai c = "<<c;
   c = a + 30;
   cout<<"Nilai c = "<<c;
   getch();
   return;
}


Selasa, 01 Desember 2009

IMPETIGO KRUSTOSA

I. PENDAHULUAN
Istilah impetigo berasal dari bahasa Latin yang berarti serangan, dan telah digunakan untuk menjelaskan gambaran seperti letusan berkeropeng yang biasa nampak pada daerah permukaan kulit. Ada dua tipe impetigo, yaitu impetigo bullosa dan impetigo non-bullosa. Impetigo non-bullosa disebut juga impetigo krustosa atau impetigo kontagiosa.
Sumber infeksi yang sering ditemukan pada anak-anak adalah berasal dari hewan peliharaan, kuku yang kotor, dan penularan dari teman sekolahnya. Sedangkan pada orang dewasa, penularan penyakit dapat diperoleh dari tempat cukur, salon kecantikan, kolam renang dan tertular dari anak.
Impetigo krustosa merupakan bentuk pioderma yang paling sederhana.dan terbatas pada daerah epidermis atau superfisialis kulit. Dasar infeksi adalah kurangnya hygiene dan terganggunya fungsi kulit.

II. EPIDEMIOLOGI
Insiden impetigo ini terjadi hampir di seluruh dunia dan pada umumnya menyebar melalui kontak langsung. Paling sering menyerang anak-anak usia 2-5 tahun, namun tidak menutup kemungkinan untuk semua umur dimana frekuensi laki-laki dan wanita sama. Sebuah penelitian di Inggris menyebutkan bahwa insiden tahunan dari impetigo adalah 2.8 % terjadi pada anak-anak usia di bawah 4 tahun dan 1.6 persen pada anak-anak usia 5 sampai 15 tahun. Impetigo nonbullous atau impetigo krustosa meliputi kira-kira 70 persen dari semua kasus impetigo.
Kebanyakan kasus ditemukan di daerah tropis atau beriklim panas serta pada negara-negara yang berkembang dengan tingkat ekonomi masyarakatnya masih tergolong lemah atau miskin.
III. ETIOLOGI
Organisme penyebab dari impetigo krustosa adalah Staphylococcus aureus selain itu, dapat pula ditemukan Streptococcus beta-hemolyticus grup A (Group A betahemolytic streptococci (GABHS) yang juga diketahui dengan nama Streptococcus pyogenes). Sebuah penelitian di Jepang menyatakan peningkatan insiden impetigo yang disebabkan oleh kuman Streptococcus grup A sebesar 71% dari kasus, dan 72% dari kasus tersebut ditemukan pula Staphylococcus aureus pada saat isolasi kuman.
Staphylococcus dominan ditemukan pada awal lesi. Jika kedua kuman ditemukan bersamaan, maka infeksi streptococcus merupakan infeksi penyerta. Kuman S. pyogenes menular ke individu yang sehat melalui kulit, lalu kemudian menyebar ke mukosa saluran napas. Berbeda dengan S. aureus, yang berawal dengan kolonisasi kuman pada mukosa nasal dan baru dapat ditemukan pada isolasi kuman di kulit pada sekitar 11 hari kemudian.

IV. PATOGENESIS
Pada impetigo krustosa (non bullous), infeksi ditemukan pada bagian minor dari trauma (misalnya : gigitan serangga, abrasi, cacar ayam, pembakaran). Trauma membuka protein-protein di kulit sehingga bakteri mudah melekat, menyerang dan membentuk infeksi di kulit. Pada epidermis muncul neutrophilic vesicopustules. Pada bagian atas kulit terdapat sebuah infiltrate yang hebat yakni netrofil dan limfosit. Bakteri gram-positif juga ada dalam lesi ini.
Eksotoksin Streptococcus pyrogenic diyakini menyebabkan ruam pada daerah berbintik merah, dan diduga berperan pada saat kritis dari Streptococcal toxic shock syndrome. Kira-kira 30% dari populasi bakteri ini berkoloni di daerah nares anterior. Bakteri dapat menyebar dari hidung ke kulit yang normal di dalam 7-14 hari, dengan lesi impetigo yang muncul 7-14 hari kemudian.

V. GAMBARAN KLINIS
Penyakit ini biasanya asimetris yang ditandai dengan lesi awal berbentuk makula eritem pada wajah, telinga maupun tangan yang berubah dengan cepat menjadi vesikel berisi cairan bening atau pustul dengan cepat dan dikelilingi oleh suatu areola inflamasi, bila mengering akan mengeras menyerupai batu kerikil yang melekat di kulit. Jika diangkat maka daerah tempat melekatnya tadi nampak basah dan berwarna kemerahan.

Gbr. 1 * Gbr.2 *
Tahap ini jarang terlihat karena kulit vesikel sangat tipis dan mudah rupture. Pada dasar vesikel terdapat eksudasi, jika mengering akan menjadi krusta warna kuning. Lesi awalnya kecil (ukuran kira-kira 3-10 mm), tapi kemudian dapat membesar. Bila lesi sembuh tidak akan meninggalkan bekas. Lesi bias annular, circinata atau bundar menyerupai Tinea circinata. Lesi satelit dapat terbentuk di sekitar lesi utama yang disebabkan oleh adanya autoinoculation.
Tanda khas dari impetigo krustosa ini adalah warna kemerahan seperti madu atau kuning keemasan ’honey-colored’. Pada daerah tropis umumnya terjadi pada anak-anak yang kurang gizi, erupsinya bias luas dan bereaksi lambat terhadap terapi. Umumnya terjadi pada daerah-daerah tubuh yang terbuka seperti wajah, mulut, telapak tangan atau leher.

Gbr.2 **
Tidak disertai gejala umum. Tempat predileksi di muka, yakni di sekitar lubang hidung dan mulut karena dianggap sumber infeksi dari daerah tersebut. Kelainan kulit berupa eritema dan vesikel yang cepat memecah sehingga jika penderita datang berobat, yang terlihat ialah krusta tebal berwarna kuning seperti madu. Jika dilepaskan tampak erosi di bawahnya. Sering krusta menyebar ke perifer dan sembuh di bagian tengah.
Streptokkus yang menginfeksi anak-anak dan yang lebih tua tidak berbeda dengan yang terkena/menyebar pada populasi yang lain, walaupun perlu dipertimbangkan bahwa tingkat infeksi yang lebih serius bias berbeda dari kedua kelompok umur tersebut. Keluhan utama adalah rasa gatal. Lesi awal berupa macula eritematosa berukuran 1 – 2 mm, segera berubah menjadi vesikel atau bula. Karena dinding vesikel tipis, mudah pecah dan mengeluarkan secret seropurulen kuning kecoklatan. Selanjutnya mengering membentuk krusta yang berlapis-lapis. Krusta mudah dilepaskan, di bawah krusta terdapat daerah erosif yang mengeluarkan secret sehingga krusta kembali menebal.

VI. HISTOPATOLOGI
Gambaran histopatologi berupa peradangan superficial folikel pilosebasea bagian atas. Terbentuk bula atua vesikopustula subkornea yang berisi kokus serta debris berupa leukosit dan sel epidermis. Pada lapisan dermis didapatkan reaksi peradangan ringan berupa dilatasi pembuluh darah, edema dan infiltrasi PMN. Daerah lesi tampak hiperemis, edem dan infiltrasi netrofil tampak pada vesikel/pustul.

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada pemeriksaan penunjang untuk menetapkan diagnosis dilakukan biakan bakteriologis eksudat lesi, biakan secret dalam media agar darah, dilanjutkan dengan tes resistens. Selain itu kultur dilakukan untuk mengetahui kuman penyebabnya. Baik staphylococcus maupun streptococcus mudah berkembang pada media aerob, contohnya blood agar.
Pemeriksaan histopatologi kulit pada infeksi yang sangat superficial yaitu diatas lapisan epidermis. Pemeriksaan gram dilakukan pada stratum korneum dan lapisan diatas granuler. Hal tersebut berhubungan dengan akantolisis jaringan sub corneal epidermis. Hanya sedikit infitrat yang tampak.
Pada pemeriksaan lokalisasi dan efloresensi dari penyakit ini diperoleh bahwa lesi penyakit ini biasanya terdapat pada daerah yang terpajan, terutama wajah, tangan, leher dan ekstremitas. Sementara efloresensi / sifat-sifatnya berupa macula eritematosa miliar sampai lentikular, krusta kuning kecoklatan, berlapis-lapis, mudah diangkat.

VIII. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa dan gambaran klinis dari lesi. Kultur dilakukan bila terdapat kegagalan pengobatan dengan terapi standar, biopsy jarang dilakukan. Biasanya diagnose dari impetigo dapat dilakukan tanpa adanya tes laboratorium. Namun demikian, apabila diagnosis tersebut masih dipertanyakan, tes mikrobiologi pasti akan sangat menolong.
- Laboratorium rutin
Pada pemeriksaan darah rutin, lekositosis ringan hanya ditemukan pada 50% kasus pasien dengan impetigo. Pemeriksaan urinalisis perlu dilakukan untuk mengetahui apakah telah terjadi glomerulonefritis akut pasca streptococcus (GNAPS), yang ditandai dengan hematuria dan proteinuria.
- Pemeriksaan imunologis
Pada impetigo yang disebabkan oleh streptococcus dapat ditemukan peningkatan kadar anti deoksiribonuklease (anti DNAse) B antibody.
- Pemeriksaan mikrobiologis
Eksudat yang diambil di bagian bawah krusta dan cairan yang berasal dari bulla dapat dikultur dan dilakukan tes sensititas. Hasil kultur bisa memperlihatkan S. pyogenes, S. aureus atau keduanya. Tes sensitivitas antibiotic dilakukan untuk mengisolasi metisilin resistar. S. aureus (MRSA) serta membantu dalam pemberian antibiotic yang sesuai. Pewarnaan gram pada eksudat memberikan hasil gram positif.
Pada blood agar koloni kuman mengalami hemolisis dan memperlihatkan daerah yang hemolisis di sekitarnya meskipun dengan blood agar telah cukup untuk isolasi kuman, manitol salt agar atau medium Baierd-Parker egg Yolk-tellurite direkomendasikan jika lesi juga terkontaminasi oleh organism lain. Kemampuan untuk mengkoagulasi plasma adalah tes paling penting dalam mengidentifikasi S. aureus. Pada sheep blood agar, S. pyogenes membentuk koloni kecil dengan daerah hemolisis disekelilingnya. Streptococcus dapat dibedakan dari Staphylokokkus dengan tes katalase. Streptococcus memberikan hasil yang negative.

Gbr. Staphylococcus aureus pada media blood agar *


Gbr. Staphylococcus aureus pada media manitol salt agar **


IX. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari jenis impetigo ini adalah :
1. Dermatitis atopi

Lesi gatal yang bersifat kronik dan berulang, kering; pada orang dewasa dapat ditemukan likenifikasi pada daerah fleksor ekstremitas. Sedangkan pada anak sering berlokasi pada daerah wajah dan ekstremitas ekstensor *
2. Dermatofitosis

Lesi kemerahan dan bersisik dengan bagian tepi yang aktif agak meninggi; dapat berbentuk vesikel, terutama berlokasi di kaki. *
3. Ektima

Lesi berkrusta yang menutupi ulkus, jarang berupa erosi; lesi menetap berminggu-minggu dan dapat sembuh dengan meyisakan jaringan perut jika infeksi meluas hingga ke dermis. **
4. Skabies

Lesi terdiri dari terowongan dan vesikel yang kecil; gatal pada daerah lesi saat malam hari merupakan gejala yang khas.***
5. Varisela

Vesikel berdinding tipis, ukuran kecil, pada daerah dasar yang eritem yang awalnya berlokasi di badan dan menyebar ke wajah dan ekstremitas; vesikel pecah dan membentuk krusta; lesi dengan tingkatan berbeda dapat muncul pada saat yang sama.

X. PENATALAKSANAAN
Perawatan Umum :
1. Memperbaiki higien dengan membiasakan membersihkan tubuh dengan sabun, memotong kuku dan senantiasa mengganti pakaian.
2. Perawatan luka
3. Titak saling tukar menukar dalam menggunakan peralatan pribadi (handuk, pakaian, dan alat cukur)
Sistemik
Pengobatan sistemik di indikasikan jika terdapat factor yang memperberat impetigo seperti eczema. Untuk mencegah infeksi sampai ke ginjal maka di anjurkan untuk melakukan pemeriksaan urine. Bakteri pun di uji untuk mengetahui ada tidaknya resistensi antibiotic. Pada impetigo superficial yang disebabkan streptococcus kelompok A, penisilin adalah drug of choice. Penisilin oral yang digunakan adalah potassium Phemmoxymethylpenicilin. Bila resisten bias digunakan oxacilin dengan dosis 2,5 gr/ hari dan dosis untuk anak-anak disesuaikan dengan umur. Dapat juga digunakan eritromisin dosis 1,5 – 2,0 g yang diberikan 4 kali sehari.
Penisilin V oral (250mg per oral) efektif untuk streptokokkus atau staphylokokkus aureus non-penisilin. Penisilin semi sentetis, methicin, atau oxacilin (500mg setiap 4-6 jam) diberikan untuk staphylokokkus yang resisten terhadap penisilin eritromisin (250mg 4 kali sehari) lebih efektif dan aman, di gunakan pada pasien yang sensitive terhadap penisilin. Antibiotic oral diberikan bila :
a. Erupsi memberat dan semakin meluas
b. Anak lain yang terpapar infeksi
c. Bila bentuk nephritogenik telah berlebihan
d. Bila pengobatan topical meragukan
e. Pada kasus yang disertai folliculitis

Topikal
Pengobatan topikal dilakukan apabila krusta dan sisa impetigo telah dibersihkan dengan cara mencucinya menggunakan sabun antiseptic dan air bersih. Untuk krusta yang lebih luas dan berpotensi menjadi lesi sebaiknya menggunakan larutan antiseptic atau pun bubuk kanji. Dapat menggunakan asam salisil 3-6% untuk menghilankan krusta. Bila krusta hilang maka penyebaranya akan terhenti. Pustule dan bula didrainase. Bila dasar lesi sudah terlihat, sebaiknya diberikan preparat antibiotic pada lesi tersebut dengan hati-hati sebanyak 4 kali sehari. Preparat antibiotic juga dapat digunakan untuk daerah yang erosive. Misalnya menggunakan krim neomycin yang mengandung clioquinol 0,5%-1% atau asam salisil 3%-5%

XI. KOMPLIKASI
Infeksi dari penyakit ini dapt tersebar keseluruh tubuh utamanya pada anak-anak. Jika tidak di obati secara teratur, maka penyakit ini dapat berlanjut menjadi glomerulonefritis (2-5%) akut yang biasanya terjadi 10 hari setelah lesi impetigo pertama muncul, namun bias juga terjadi setelah 1-5 minggu kemudian.

XII. PROGNOSIS
Secara umum prognosis dari penyakit ini adalah baik jika dilakukan pengobatan yang teratur, meskipun dapat pula komplikasi sistemik seperti glomerulonefritis dan lain-lain. Lesi mengalami perbaikan setelah 7-10 hari pengobatan.

XIII. KESIMPULAN
Impetigo merupakan pioderma superfisialis yang terbatas pada epidermis. Impetigo terbagi atas 2 bentuk yaitu impetigo krustosa dan impetigo bulosa. Impetigo krustosa merupakan bentuk pioderma yang paling sederhana, menyerang epidermis dengan gambaran yang dominan ialah krusta. Organism penyebab dari penyakit ini adalah staphylococcus aureus koagulase positif dan streptococcus betahemolyticus. Tanda khas dari impetigo krustosa ini adalah lesi awal yang berbentuk macula eritem pada wajah, telinga maupun tangan yang berubah dengan cepat menjadi vesikel berisi cairan bening atau pustule dan umumnya terjadi pada anak-anak. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klini dari lesi. Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan melakukan perawatan diri, pengobatan sistemik dan topikal.

PITIRIASIS ALBA

I. PENDAHULUAN
Pitiriasis Alba (PA) merupakan suatu kelainan kulit yang biasanya terdapat pada anak-anak dan dewasa muda. Yang ditandai dengan adanya gambaran hipopigmentasi bulat sampai oval, makula halus. Bercak dalam berbagai ukuran biasanya diameternya beberapa centimeter, berwarna putih (tetapi bukan depigmentasi) atau merah muda terang. Biasanya bercak tampak jelas, tetapi mungkin dan sedikit meninggi diluar area hipopigmentasi.
Lokasi predileksi meliputi muka, leher dan lengan bagian atas. Lesi hipopigmentasi ini menjadi lebih nyata setelah terkena sinar ultra violet. Evaluasi terhadap jamur biasanya dilakukan untuk menyingkirkan tinea versicolor atau suatu dermatofitosis.

II. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, meskipun insiden terjadinya belum bisa dijelaskan secara pasti, bahwa pada sepertiga dari jumlah anak-anak usia sekolah mungkin menderita kelainan ini. Pitiriasi alba bukanlah penyakit musiman, tetapi biasanya muncul pada musim dingin dimana kondisi udara di dalam rumah relatif lebih kering. Sebagai tambahan, paparan sinar matahari bisa membuat lesi lebih jelas pada musim semi dan musim panas.
Secara internasional, pada suatu penelitian terhadap 9955 anak sekolah usia 6 – 16 tahun yang tinggal di daerah tropis, tingkat prevalensi Pitiriasis alba sekitar 9,9 %.
Pitiriasis alba bisa mengenai semua ras, pada suatu studi ditemukan timbulnya sedikit lebih tinggi pada orang-orang yang berkulit lebih terang. Dan kebanyakan lebih banyak mengganggu dari segi kosmetik pada orang yang berkulit lebih gelap. Tingkat kejadian pada anak laki-laki dan perempuan sama, dan biasanya mengenai anak-anak yang berusia 3 – 16 tahun, 90 persen kasus ini terjadi pada anak yang berusia di bawah 12 tahun. PA kadang-kadang juga terjadi pada orang dewasa.

III. ETIOLOGI
Penyebab pasti Pitiriasis alba belum diketahui secara pasti, kulit yang kering sering diperburuk oleh lingkungan kering yang dingin dan nampak seperti suatu faktor umum. Lesi terutama nampak berlawanan dengan kulit hitam dan kelihatan lebih jelas akibat paparan sinar matahari pada musim semi dan musim panas. Keadaan ini tidak menular dan belum ditemukan penyebab penyebaran penyakit ini.
Gambaran hipopigmentasi bisa terjadi karena penyebab lain seperti oleh jamur (misalnya, tinea versicolor), adanya inflamasi sebelumnya (misalnya, hipopigmentasi post inflamasi) atau gangguan idiopati (misalnya, vitiligo) atau mungkin akibat efek samping pengobatan seperti asam retinoic, benzoil peroksida dan steroid topikal.

IV. PATOGENESIS
Pada suatu studi terhadap 9 pasien dengan pitiriasis alba yang luas, kepadatan dari fungsi melanosit dikurangi dalam area yang terpengaruh tanpa perubahan dalam aktivitas sitoplasma. Melanosom cenderung lebih sedikit dan lebih kecil, tetapi distribusinya terpola dalam keratinosit normal.
Perpindahan melanosom ke keratinosit biasanya tidak terganggu. Gambaran histologinya tidak spesifik. Hiperkreatosis dan parakreatosis tidak memperlihatkan secara konsisten, dan keduanya nampaknya mau tidak mau tetap memegang peranan penting dalam patogenesis hipomelanosit. Suatu derajat variable dari edema interseluler dan lemak intrasitoplasma droplet ada. Hipopigmentasi mungkin terutama terkait dengan pengurangan jumlah melanosit yang aktif dan penurunan ukuran dan jumlah melanosom dalam kulit yang terpengaruh.

V. GAMBARAN KLINIS
Pitiriasis alba umumnya asimptomatis, tetapi mungkin saja sedikit gatal. Pasien biasanya akan mengalami tiga tahapan : lesi papula eritem, lesi papula hipokrom, dan lesi smooth hipokrom. Aspek riwayat penyakit meliputi :
Riwayat keluarga atau pasien seperti sakit asma, demam karena alergi atau eksema dalam area yang sesuai ciri khas dermatitis atopik. Pitiriasis alba merupakan temuan nonspesifik yang biasanya dihubungkan dengan dermatitis atopik.
Pasien mungkin punya riwayat eksim atau ruam yang dulu di area hipopigmentasi. Iritasi kulit yang timbul oleh berbagai penyebab dapat sembuh dan menimbulkan hipopigmentasi postinflamatory. Pengobatan utama dengan steroid topical bisa menimbulkan hipopigmentasi. Pasien mungkin teriritasi atau dermatitis kontak iritan terhadap berbagai krim topical, lotion dan obat-obatan. Ketika dihentikan dan area pemulihan dari dermatitis kontak, maka suatu area hipopigmentasi postinflamatory bisa terjadi.
Pitiriasis alba ditandai dengan hipopigmentasi, bulat sampai oval, bercak makula di daerah muka, lengan bagian atas, leher, atau bahu. Kaki dan tangan lebih sedikit terkena. Lesi dalam berbagai ukuran, pada umumnya berdiameter 1 - 4 centimeter. Pasien biasanya memiliki jumlah lesi sekitar 4 atau 5 sampai 20 atau lebih.






Pada sekitar setengah dari semua pasien, luka terbatas di daerah muka. Pada anak-anak, lesi lebih sering pada muka yaitu area sekitar mulut, dagu dan pipi. Sekitar 20% anak-anak yang menderita terkena di daerah leher, lengan dan bahu sebagai tambahan terhadap muka.
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pengujian dengan kalium hidroksida (KOH) dilakukan untuk menyingkirkan kelainan kulit lain seperti tinea versicolor, tinea faciei, atau tinea korporis.
Penemuan secara histology, biopsi kulit umumnya tidak terlalu membantu dalam menetapkan diagnosis, namun mungkin saja diindikasikan jika diagnosis mikosis seperti jamur (cutaneous T-cell lymphoma).
Hanya sedikit kasus yang dilaporkan secara histologi, biasanya gambaran mikroskopik dari pitiriasis alba terlihat seperti suatu dermatitis kronik non spesifik. Studi histologi mengungkapkan gambaran yang sugestif, walaupun bukan patognomonik mengenai hasil diagnosis itu. Diagnosis pitiriasis alba secara histopatologi mungkin diusulkan ketika corak yang diamati dalam suatu spesimen biopsi diambil dari lesi kulit dengan papula follikuler :
- pigmentasi yang tidak teratur dari melanin
- follicular plugging
- follicular spongiosis
- kelenjar sebasea yang artropi
Pada mikroskop elektron, terlihat jumlah melanosit yang aktif berkurang dan ukuran serta jumlah melanosom berkurang dalam kulit yang terpengaruh.




VII. DIAGNOSIS
Untuk mendiagnosis penderita yang dicurigai pitiriasis alba dapat dilakukan anamnesis terhadap riwayat sebelum timbulnya gejala seperti riwayat keluarga, riwayat makanan, obat-obatan serta faktor lingkungan yang mungkin menjadi faktor penyebab timbulnya kelainan kulit, serta pemeriksaan fisis terhadap kelainan kulit yang timbul dengan mengidentifikasi effloresensi serta lokalisasi terjadinya lesi.
Untuk menyingkirkan berbagai diagnosa banding yang mungkin menyerupai gejala pada pitiriasis alba ini dapat dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya seperti pengujian kalium hidroksida (KOH) untuk menyingkirkan tinea versicolor dan beberapa pemeriksaan penunjang lainnya. Setelah melewati tahapan tersebut maka diagnosis pitiriasis alba dapat ditegakkan.

VIII. DIAGNOSIS BANDING
- Atopic Dermatitis
- Contact Dermatitis
- Pityriasis Rosea
- Tinea Versicolor
Beberapa masalah yang bisa menjadi bahan pertimbangan adalah :
Hipopigmentasi akibat jamur, pada beberapa proses inflamasi pada kulit seperti dermatitis kontak dapat meninggalkan bekas hipopigmentasi setelah penyembuhan, ini bisa terjadi pada kelainan kulit lainnya misalnya yang disebabkan oleh jamur (seperti tinea versicolor), keadaan inflamasi sebelumnya (postinflammatory hypopigmentation) atau gangguan idiopatik (seperti vitiligo). Hipopigmentasi juga bisa terjadi sebagai akibat efek samping dari pengobatan seperti penggunaan asam retinoic, benzoil peroksida dan steroid topikal.
Nevus depigmentosus, bentuk nevus depigmentosus yang pada kulit harus dibedakan dengan noda di daun. Manifestasi kulit yang paling awal dari tuberous sklerosa, sedangkan bentuk yang teratur mungkin terganggu oleh hipomelanosis ilo, gangguan neurokutaneus yang lain.
Eksema nummular, eksema nummular yang sangat gatal.
Pigmenting Pitiriasis alba, keadaan ini nampak seperti variasi dari pitiriasis alba klasik. Memperlihatkan suatu kaitan dengan infeksi jamur terutama tinea kapitis. Ciri khas dari bentuk pigmen pitiriasis alba suatu area pusat yang hiperpigmentasi dan dikelilingi oleh bentuk yang sedikit bersisik dan hipopigmentasi.
Psoriasis, pada orang dewasa dan anak-anak yang lebih tua, awal lesi eritem dari pitiriasis alba mungkin menyebabkan salah pengertian terhadap psoriasis, bagaimanapun, distribusi, tanpa adanya makula dan sedikit di kulit kepala, siku dan lutut meniadakan diagnosis ini.
Tinea versicolor , lesi tinea versicolor biasanya terdapat pada lengan atas / bahu anak remaja. Pengujian kalium hidroksida terhadap makula menunjukkan bentuk jamur Malassezia furfur.
Vitiligo, merupakan suatu gangguan yan didapat, berlawanan dengan nevus depigmentosus dimana leukoderma sejak lahir stabil. Muka adalah suatu lokasi umum untuk vitiligo, tetapi distribusi paling umum di sekitar mulut atau mata, dan, berlawanan dengan pitiriasis alba, kehilangan pigmen lengkap.

IX. PENATALAKSANAAN
Tidak ada perawatan khusus, tetapi dengan moisturizing cream bisa membantu memperbaiki penampilan kulit yang kering . Jika makula gatal atau merah, steroit dapat digunakan untuk beberapa hari. Kerusakan dengan menggunakan pengobatan simptomatik dengan kream khusus umumnya terlihat bersih, tetapi dapat kembali.
Pitiriasis alba yang luas bisa dijadikan oleh ahli kulit untuk kemungkinan pemberian Pulsed Ultra Violet A (PUVA). Untuk mencegah timbulnya kembali bercak, sewaktu kulit sudah normal, digunakan obat kulit berupa cairan dan moisturizers untuk membantu kembalinya kelainan kulit.. Tidak digunakan hidricortisone 1% pada muka untuk waktu yang lama tanpa ada persetujuan dari dokter.

X. PROGNOSIS
Pitiriasis alba biasanya sembuh sendiri dan pasien asimptomatis, penampilan kosmetik mungkin menjadi suatu masalah bagi pasien anak, tetapi lebih mungkin menjadi masalah dengan orang tuanya. Prognosisnya baik, dengan repigmentasi yang lengkap diharapkan tidak ada efek sisa yang bersifat jangka panjang. Dengan penanganan bisa memperpendek jangka waktu dari lesi hanya beberapa minggu pada kasus tertentu.
XI. KESIMPULAN
Pityriasis Alba adalah suatu kelainan kulit yang penyebabnya tidak diketahui. Biasanya terjadi pada anak-anak dan remaja yang ditandai dengan hipopigmentasi, bulat sampai oval Lesi dalam berbagai ukuran, pada umumnya berdiameter 1 - 4 centimeter. Pasien biasanya memiliki jumlah lesi sekitar 4 atau 5 sampai 20 atau lebih. Warna kulit secara berangsur-angsur akan kembali dengan sepenuhnya ke normal. Makula Pityriasis alba menjadi lebih nyata di musim panas, juga pada musim dingin tapi lebih sering terpapar sinar matahari. Makula ini pada umumnya terjadi pada muka. Juga bisa terjadi di leher, lengan atas dan bahu.
Pada umumnya tidak ada perawatan khusus untuk pitiriasis alba, akan tetapi pada makula yang gatal atau eritem dapat digunakan steroid tetapi tidak untuk waktu lama. Pemberian Pulsed Ultra Violet A (PUVA) juga dapat diberikan untuk pitiriasis alba yang luas.

VOYEURISME

I. PENDAHULUAN
Sesuatu yang tidak biasa terjadi seringkali dikatakan sebagai kelainan. Demikian juga dalam hal seksual. Adakalanya terjadi deviasi seksual pada sebagian orang. Deviasi seksual merupakan gannguan arah dan tujuan seksual. Arah dan tujuan, dalam hal ini bukan lagi merupakan pasangan seks yang lain (dalam hal hubungan heteroseksual yang dianggap normal). Cara utama untuk mendapatkan kepuasan seksual ialah dengan objek lain atau dengan cara lain yang dianggap keluar dari batas normal.1
Umumnya deviasi seksual ini dikategorikan sebagai parafilia. Parafilia merupakan gangguan perilaku psikoseksual 1, yang menyimpang dari norma-norma dalam hubungan seksual yang secara social tidak dapat diterima.2 Penderita senantiasa menggunakan fantasinya untuk mencapai kepuasan seksual. Fantasi ini cenderung berulang mendadak dan terjadi dengan sendirinya. Penyebab utama biasanya berhubungan dengan faktor psikologis. Sedangkan gangguan fungsi karena kelainan atau gangguan organik pada alat kelamin, tidak dimasukkan dalam parafilia.1
Istilah voyeurism, dari kata Prancis berarti melihat, mengacu pada keinginan untuk memandang tindakan dan ketelanjangan hubungan seks.2 Voyeurisme ialah keadaan seseorang yang harus mengamati tindakan sexual atau ketelanjangan (orang lain) untuk memperoleh rangsangan dan pemuasan seksual.3 Voyeurisme adalah preokupasi rekuren dengan khayalan dan tindakan yang berupa mengamati orang lain yang telanjang atau sedang berdandan atau melakukan aktivitas seksual. Gangguan ini juga dikenal sebagai skopofilia. Masturbasi sampai orgasme biasanya terjadi selama atau setelah peristiwa.4 Voyeurisme ini merupakan kegiatan mengintip yang menggairahkan dan bukan merupakan aktivitas seksual dengan orang yang dilihat. Sebagian besar pelaku voyeurisme ialah dari golongan pria.5

II. EPIDEMIOLOGI
Voyeurisme paling sering terjadi pada laki-laki, tetapi tidak tertutup kemungkinan terjadi pada wanita. Biasanya terjadi pada remaja yang mulai meningkat dewasa, rata-rata pada usia 15 tahun, belum ada data pasti mengenai voyeurisme pada orang dewasa, begitu pun juga mengenai prevalensinya. 2,6
Orang dengan voyeurisme jarang ditangkap karena voyeurisme sifatnya tidak menyakiti orang lain dan dilakukan secara tersembunyi. Pada sebagian kalangan, kebiasaan ini dianggap lazim untuk anak remaja, mereka mulai dapat menikmati gambar yang berbau pornografi sampai mengintip percumbuan dari orang lain secara terang-terangan atau tersembunyi.4,6,7

III. ETIOLOGI
Terdapat banyak teori yang berhubungan dengan terjadinya deviasi seksual ini. Tetapi hingga saat ini belum satupun teori yang dianggap tepat untuk menjelaskan mekanisme terjadinya kelainan ini. 7
Meskipun demikian, sebagian peneliti mengatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya voyeurisme ini adalah trauma pada usia anak. Misalnya penyimpangan seksual terhadap anak (sexual abuse) atau suatu pengalaman pada masa kanak-kanak sehingga anak-anak bertumbuh kembang dengan kegiatan voyeurisme ini.8 Selain itu, pengaruh dari media informasi yang menyumbang pada kebebasan pornografi sehingga berdampak pada kegiatan voyeurisme ini.1
Kebanyakan ahli juga berpendapat bahwa rata-rata kejadian voyeurisme diawali dengan ketidaksengajaan melihat orang sedang telanjang, sedang melepas pakaian, atau orang yang sedang melakukan hubungan seksual. Hal ini kemudian akan menjadi impuls berupa dorongan (kompulsif) untuk terus melihat dan akhirnya terbentuklah kebiasaan voyeurisme.8

IV. GAMBARAN KLINIS
Kriteria dari deviasi seksual ini adalah meningkatnya nafsu seks, fantasi, dan perilaku seseorang untuk terus mengintip korbannya yang telanjang atau sedang melakukan hubungan seksual tanpa korbannya menyadari. Fantasi, dorongan dan kebiasaan untuk melakukan aktivitas voyeuristik dalam hal ini tidak dapat dikendalikan sehingga menimbulkan distress bagi orang tersebut bila tidak mengulangi perbuatannya. Bahkan pada tahap berat, kegiatan voyeurisme ini akan menyebabkan penderitaan dan frustasi berat kepada si pelaku sehingga mengganggu aktivitas hariannya.8

V. DIAGNOSIS
Menurut American Psychiatric Association dalam Diagnostic and Statistical Mannual of Mental Disorder fourth edition (DSM-IV), kriteria diagnosa untuk voyeurisme ialah seperti berikut :
1. Seseorang dengan kebiasaan melihat orang yang sedang telanjang, menanggalkan pakaian, atau orang lain yang sedang melakukan aktivitas seksual, yang dilakukan untuk membangkitkan hasrat seksual, dilakukan berulang kali, dan terus menerus dalam kurun waktu minimal 6 bulan.
2. Pelaku voyeurisme mengalami penderitaan dan frustasi berat sehingga mengganggu hubungan sosial, pekerjaan, dan aktivitas hariannya yang lain disebabkan oleh fantasi seksual dan kegiatan pengintipannya.2,4 ,9
Menurut PPDGJ-III, pedoman diagnostic pada voyeurisme adalah;
1. Kecenderungan yang berulang atau menetap untuk melihat orang yang sedang berhubungan seksual atau berprilaku intim seperti sedang menanggalkan pakaian.
2. Hal ini biasanya menjurus kepada rangsangan seksual dan masturbasi, yang dilakukan tanpa orang yang diintip menyadarinya.7

VI. TERAPI
Penyimpangan seksual tidak hanya bersangkutan dengan pemuasan dorongan seksual saja tetapi seringkali merupakan mekanisme pertahanan diri terhadap perasaan-perasaan tidak senang. Ketakutan-kecemasan, dan depresi. Oleh karena itu usaha penyembuhannya di samping menggunakan pendekatan klinis, juga menggunakan metode multidisipliner. Terapi dapat berupa psikoterapi, terapi perilaku, kognitif, sosioterapi, terapi hormonal dan farmakoterapi
 Psikoterapi
Psikoterapi berorientasi tilikan adalah pendekatan yang paling sering digunakan untuk mengobati parafilia. Pasien memiliki kesempatan untuk mengerti dinamikanya sendiri dan peristiwa-peristiwa yang menyebabkan perkembangan parafilia. Secara khusus, mereka menjadi menyadari peristiwa sehari-hari yang menyebabkan mereka bertindak atas impulsnya. Psikoterapi juga memungkinkan pasien meraih kembali harga dirinya dan memperbaiki kemampuan interpersonal dan menemukan metoda yang dapat diterima untuk mendapatkan kepuasan seksual..4
 Cognitive-Behavioral Therapy (CBT)
Pada terapi ini seorang voyeur harus belajar untuk mengendalikan impuls (dorongan) untuk melihat aktivitas seksual orang lain dan memahami cara mendapatkan kepuasan seksual yang sebenarnya. Pasien diberi keberanian dalam mengutarakan masalah yang terdapat pada perilaku mereka serta berusaha mengubah pola piker yang salah. Terapi ini juga menggabungkan teknik yang mencegah terjadinya relaps yaitu dengan membantu pasien untuk mengontrol perilaku yang tidak diinginkan dengan cara menghindari situasi yang mungkin membangkitkan keinginannya tersebut. Keberhasilan terapi ini belum jelas.
 Farmakoterapi
Farmakoterapi biasanya diberikan pada voyeurisme yang sulit terkendali dengan psikoterapi maupun Behavioral terapi. Farmakoterapi bertujuan untuk menurunkan dorongan yang kuat (kompulsif) yang dihubungkan dengan parafilia.
Beberapa golongan obat yang dapat membantu penyembuhan antara lain:
1. Anti depresan
2. Preparat hormonal- GnRH (gonadotropin-releasing hormones)
3. Anti-androgen, Cyproteron Asetat (CPA) dan Medroxyprogesteron Asetat (MPA)1
 Sosioterapi
Pendekatan kepada penderita hendaknya dengan penuh pengertian, tidak dengan menghakimi atau mempersalahkan. Selain itu, bisa dicoba untuk menyelami perasaan, karena acapkali gangguan tersebut terbentuk dari keinginan dan pengalaman masa lalu. 1

PROGNOSIS
Prognosis parafilia pada umumnya tergantung dari respon pasien terhadap usaha penyembuhan.
Pasien dengan prognosa yang baik, mempunyai karakteristik sebagai berikut:
1. Bersifat kooperatif dengan pemeriksa
2. Mempunyai kehidupan seks yang normal di samping perilaku seks yang menyimpang.
3. Ada keinginan untuk berubah, dan aktif mencari pengobatan.
Pasien dengan prognosa yang buruk mempunyai karakteristik sebagai berikut:
1. Onset dini
2. Tidak ada motivasi untuk berubah
3. Tidak kooperatif dengan pemeriksa
4. Perlangsungan penyakit yang berulang dan lama
5. Tidak ada kehidupan seks yang normal. 4,6

PENCEGAHAN
Banyak ahli berpendapat bahwa dengan adanya pedoman mengenai perilaku yang menurut budaya setempat dapat diterima akan mencegah berkembangnya perilaku parafilia termasuk voyeurisme. Dalam banyak hal voyeurisme dapat ditemukan secara tidak sengaja dengan cara pemuasan seksual lainnya, tetapi tidak ada yang bias memprediksi bagaimana hubungan antara hal tersebut terjadi.8
Masyarakat dapat meminimalisir insiden voyeurisme dengan cara antara lain menutup tirai, menutup jendela rapat-rapat, dan melakukan aktivitas seksual di tempat tertutup dan sebaiknya tanpa cahaya lampu bagi yang tinggal di kawasan padat penduduk misalnya rumah susun, asrama, dan sebagainya.8
Selain itu diperlukan suatu undang-undang atau peraturan yang dapat menindak tegas setiap bentuk perilaku menyimpang seksual termasuk voyeurisme, yang dapat menyeret pelakunya ke meja hokum sehingga ada rasa takut untuk mengulangi perbuatannya, karena selama ini voyeurisme dianggap bukan sebagai tindakan kriminal karena sifatnya yang tidak menyakiti korbannya.

KESIMPULAN
Voyeurisme merupakan salah satu bentuk deviasi seksual yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan. Voyeurisme bisa terbentuk karena adanya kebolehan untuk menikmati media pornografi misalnya majalah, film dan sebagainya. Oleh karena insidens tertinggi voyeurisme terjadi pada umur 15 tahun (usia remaja menjelang dewasa), dalam hal ini diperlukan pengawasan yang ketat dari para orang tua dan masyarakat di sekitarnya. Pada dasarnya voyeurisme merugikan kedua belah pihak yaitu pelakunya sendiri dan korban tentunya. Voyeurisme sulit untuk dihentikan bila tidak ada motivasi dan kesadaran dari pelakunya, diperlukan suatu aturan hokum yang dapat menindak tegas pelakunya.






DAFTAR PUSTAKA
1. Suryana, Yaya. S.Ked : Parafilia Sebagai Deviasi Seksual dan Pengobatannya, http://www.indomedia.com.
2. Robert Levey, PhD, MPH : Sexual and Gender Identity Disorders, http://www.emedicine.com
3. Maramis, W.F. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Universitas Airlangga, Surabaya; hal. 299-321.
4. Kaplan, Harold I, MD, Sadock Benjamin J, MD,Sinopsis Psikiatri-ilmu pengetahuan perilaku psikiatri klinis. Edisi ke-7. jilid 2. hal. 155-66.
5. Anonim : Parafilia, http://www.medicastore.com
6. Anonim : Voyeurism, http://allpsychonline.com.
7. Maslim Rusdi ,Dr. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa-FK-Unika atmajaya, Jakarta; 2001. hal. 112-4
8. Cameron, Norman,. Personality Development and Psychopathology, A Dinamic Approach, Yalf Unifersity, Mifflin Company – Boston; 2001. hal. 667
9. Diagnostic and Statistical Mannual of Mental Disorder fourth edition (DSM-IV), American Psychiatric Association, Washington DC.

Rubella / Campak

I. PENDAHULUAN
Rubella atau Campak Jerman merupakan penyakit anak menular yang lazim biasanya ditandai dengan gejala gejala utama ringan, ruam serupa dengan campak (rubeola) ringan atau demam skarlet, dan pembesaran serta riveri limfonodi pascaoksipital, retroaurikuler, dan servikalis posterior. Campak Jerman atau rubela ini biasanya hanya menyerang anak-anak sampai usia belasan tahun. Tapi, bila penyakit ini menyerang anak yang lebih tua dan dewasa, terutarna wanita dewasa, infeksi kadang kadang dapat berat, dengan manifestasi keterlibatan sendi dan purpura. Dan bila bila penyakit ini menyerang ibu yang sedang mengandung dalam tiga bulan pertama, bisa menyebabkan cacat bayi waktu dilahirkan.
Rubella pada awal kehamilan dapat menyebabkan anomali kongenital berat. Sindrom rubella kongenital adalah penyakit menular aktif dengan keterlibatan multisistem, spektrum ekspresi klinis luas, dan periode infeksi aktif pascalahir dengan pelepasan virus yang lama

II. INSIDENS
Anak laki laki dan wanita sama sama terkena. Pada populasi yang rapat seperti institusi dan Asrama tentara, hampir 100% dari individu yang rentan dapat terinfeksi. Pada keLompok keluarga penyebaran virus kurang: 50 60% anggota keluarga yang rentan mendapat penyakit. Banyak infeksi yang subklinis, dengan rasio 2:1 antara penyakit yang tidak tampak dengan penyakit yang tarnpak. Rubella biasanya terjadi selama inusim semi.
Pemeriksaan serologis sebelum penggunaan vaksin rubella rnenunjukkan bahwa sekitar 80% populasi dewasa di Amerika Serikat dan benua lain mempunyai antibodi terhadap rubella. Di populasi pulau, seperti populasi Trinidad dan Hawaii, hanya 20% dari orang dewasa yang diperiksa dapat dideteksi antibodi.
Ketika wabah rubela merebak di Amerika Serikat pada tahun 1967-1965, lebih 20,000 bayi telah dilahirkan cacat. Wabah Rubela juga dikatakan menyebabkan sekurang-kurangnya 10,000 kasus keguguran dan bayi yang lahir mati saat dilahirkan. Diperkirakan 25 % bayi yang terinfeksi rubela pada tiga bulan pertama usia kandungan dilahirkan dengan satu jenis atau lebih kecacatan.
Pada tahun 1989 – 1990 sejumlah kasus rubella menyerang lebih banyak pada anak remaja di atas umur 15 tahun dan dewasa diperkirakan karena kegagalan vaksinasi pada setiap individu. Resiko terserang rubella kembali menurun untuk semua umur dan dilaporkan kasus di Amerka Serikat pada tahun 1999 sebanyak 267.

III. ETIOLOGI

Rubella disebabkan oleh virus yang mengandung RNA pleomorfik, yang sekarang didaftar pada famili Togaviridae, genus Rubivirus. Virus ini sferis, berdiameter 50-60 nm, dan berisi asam ribonukleat helai-tunggal. Virus biasanya diisolasi pada biakan jaringan, dan keberadanya diperagakan oleh kemampuan sel ginjal kera hijau Afrika (African green monkey kidney) [AGMK] terinfeksi rubella menahan tantangan dengan enterovirus. Selama penyakit klinis virus berada dalam sekresi nasofaring, darah, tinja, dan urin. Virus telah ditemukan dari nasofaring 7 hari sebelum eksantem, dan 7 8 hari sesudah menghilangnya. Penderita dengan penyakit subklinis juga infeksius.

IV. PATOFISIOLOGI
Daerah utama yang terinfeksi oleh rubella adalah nasofaring kemudian menyebar ke kelenjar getah bening secara cepat dan viremia. Ruam nampak akibat titer serum antibody meningkat dan mempengaruhi antigen-antibodi dan berinteraksi di kulit. Virus telah dapat ditemukan diseluruh kulit baik yang terlibat maupun yang tidak selama masa infeksi, dan penyebarannya karena factor lain yang mungkin berperan dalam patogenesis eksantem. Antibody HAI mencapai puncaknya pada hari 12 – 14 setelah timbulnya ruam dan akan kembali stabil setelah kira-kira 2 minggu kemudian.
Virus rubella mempunya 3 polipeptida mayor yang mencakup 1 kapsid protein dan 2 amplop glikoprotein E1 dan E2. Antibodi anti-E1 mungkin memegang peranan utama dalam respon serologik.

V. GEJALA KLINIS
Keluhan yang dirasakan biasanya lebih ringan dari penyakit campak. Bercak-bercak mungkin juga akan timbul tapi warnanya lebih muda dari campak biasa. Biasanya, bercak timbul pertama kali di muka dan leher, berupa titik-titik kecil berwarna merah muda. Dalam waktu 24 jam, bercak tersebut menyebar ke badan, lengan, tungkai, dan warnanya menjadi lebih gelap. Bercak-bercak ini biasanya hilang dalam waktu 1 sampai 4 hari.
Masa inkubasi adalah 14 21 hari. Tanda yang paling khas adalah adenopati retroaurikuler, servikal posterior, dan di belakang oksipital. Enantem mungkin muncul tepat sebelum mulainya ruam kulit. Ruam ini terdiri dari bintik bintik merah tersendiri pada palatum molle yang dapat menyatu menjadi warna kemerahan jelas pada sekitar 24jam sebelum ruam.
Eksantemnya lebih bervariasi daripada eksantem rubeola. Eksantem pada muka dan menyebar dengan cepat. Evolusinya begitu cepat sehingga dapat menghilang pada muka pada saat ruam lanjutannya muncul pada badan. Makulopapula tersendiri ada pada sejumlah kasus; ada juga daerah kemerahan yang luas yang menyebar dengan cepat ke seluruh badan, biasanya dalam 24 jam. Ruam dapat menyatu, terutama pada muka. Selama hari kedua ruam dapat mempunyai gambaran sebesar ujung jarum, terutama di seluruh tubuh, menyerupai ruam demam scarlet. Dapat terjadi gatal ringan. Erupsi biasanya jelas pada hari ke 3.
Mukosa faring dan konjungtiva sedikit meradang. Berbeda dengan rubeola, tidak ada fotofobia. Demam ringan atau tidak selama ruam dan menetap selama 1, 2 atau kadang kag 3 hari. Suhu jarang melebihi 38oC (101oF). Anoreksia, nyeri kepala, dan malaise tidak biasa. Limpa. sering sedikit membesar. Angka sel darah putih normal atau sedikit menurun, trombositopeni jarang, dengan atau tanpa purpura. Terutama pada wanita yang lebih tua dan wanita dewasa, poliartritis dapat terjadi dengan artralgia, pembengkakan, nyeri dan efusi tetapi biasanya tanpa sisa apapun. Setiap sendi dapat terlibat, tetapi sendi sendi kecil tangan paling sering terkena. Lamanya biasanya beberapa hari; jarang artritis ini menetap selama berbulan bulan. Parestesia juga telah dilaporkan. Pada satu epidemi orkidalgia dilaporkan pada sekitar 8% orang laki-laki usia perguruan tinggi yang terinfeksi.

VI. DIAGNOSIS
Untuk mendiagnosa pasti suatu rubella, dapat dilakukan dengan isolasi virus, hanya saja ini sulit dilakukan dan biayanya juga mahal atau dapat pula dengan titer antibodi. Tes yang biasa dilakukan adalah tes ELISA untuk antibodi IgG dan IgM. Antibodi rubella dapat ditemukan pada hari kedua ruam dan mengalami peningkatan pada hari 10 – 21. biopsy jaringan atau darah dan CSF dapat pula digunakan untuk menunjukkan adanya antigen rubella dengan antibodi monoklonal dan untuk mendeteksi RNA rubella dengan hibridisasi dan reaksi polymerase berantai dari tempat asal.

VII. DIAGNOSIS BANDING
Karena gejala serupa dan ruam dapat terjadi pada banyak infeksi virus yang lain, rubella merupakaan penyakit yang sukar untuk didiagnosis secara klinis kecuali bila penderita ditemukan selama epidemi. Riwayat telah mendapat rubella atau vaksin rubella tidak dapat dipercaya; Imunitas harus ditentukan dengan uji untuk antibodi. Terutama pada bentuk lebih berat, rubella dapat terancukan dengan tipe dernam skarlet dan rubeola ringan.
Roseola infantum (eksantema subitum) dibedakan dari rubella oleh keparahan demamnya dan oleh munculnya ruam pada akhir episode demam bukannya pada saat gejala-gejala dan tanda tandanya sedang naik.
Ruam karena obat mungkin sangat sukar dibedakan dari rubella. Pembesaran khas limfonodi sangat mendukung diagnosis rubella. Pada mononukleosis infeksiosa ruam dapat terjadi menverupai ruam rubella, dan pembesaran limfonodi pada setiap penyakit dapat menimbulkan kerancuan. Tanda tanda hematologik mononukleosis infeksiosa akan cukup membedakan dua penyakit tersebut. Infeksi enterovirus yang disertai dengan ruam dapat dibedakan dari beberapa keadaan pada manifestasi pernafasan atau saluran cerna dan tidak adanya adenopati retroaurikuler.

VIII. PENGOBATAN
Jia tidak terjadi komplikasi bakteri, pengobatan adalah simptomatis. Adamantanamin hidroklorida (amantadin) telah dilaporkan efektif in vitro dalam menghambat stadium awal infeksi rubella pada sel yang dibiakkan. Upaya untuk mengobati anak yang sedang menderita rubella congenital dengan obat ini tidak berhasil. Karena amantadin tidak dianjurkan pada wanita hamil, penggunaannya amat terbatas. Interferon dan isoprinosin telah digunakan dengan hasil yang terbatas.
Pencegahan
Pada orang yang rentan, proteksi pasif dari atau pelemahan penyakit dapat diberikan secara bervariasi dengan injeksi intramuskuler globulin imun serum (GIS) yang diberikan dengan dosis besar (0,25 0,50 mL/kg atau 0,12 0,20 mL/lb) dalam 7 8 hari pasca pemajanan. Efektiviias globulin imun tidak dapat diramalkan. Tampaknya tergantung. pada kadar antibodi produk yang digunakan dan pada faktor yang belum diketahui. Manfaat GIS telah dipertanyakan karena pada beberapa keadaan ruam dicegah dan manifestasi klinis tidak ada atau minimal walaupun virus hidup dapat diperagakan dalam darah. Bentuk pencegahan ini tidak terindikasi, kecuali pada wanita hamil nonimun.
Program vaksinasi atau imunisasi merupakan salah satu upaya pencegahan terhadap rubella. Di Amerika Serikat mengharuskan untuk imunisasi sernua laki laki dan wanita umur 12 dan 15 bulan serta pubertas dan wanita pasca pubertas tidak hamil. Imunisasi adalah efektif pada umur 12 bulan tetapi mungkin tertunda sampai 15 bulan dan diberikan sebagai vaksin campak parotitis rubella (measles mumps rubella [MMR]). Imunisasi rubella harus diberikan pada wanita pasca pubertas yang kemungkinan rentan pada setiap kunjungan perawatan kesehatan. Untuk wanita yang mengatakan bahwa mereka mungkin hamil imunisasi harus ditunda. Uji kehamilan tidak secara rutin diperlukan, tetapi harus diberikan nasehat mengenai sebaiknya menghindari kehamilan selama 3 bulan sesudah imunisasi. Kebijakan imunisasi sekarang telah berhasil memecahkan siklus epidemic rubella yang biasa di Amerika Serikat dan menurunkan insiden sindrom rubella kongenital yang dilaporkan pada hanya 20 kasus pada tahun 1994. Namun imunisasi ini tidak mengakibatkan penurunan presentase wanita usia subur yang rentan terhadap rubella.


IX. PROGNOSIS
Kornplikasi relatif tidak lazim pada anak. Neuritis dan artritis kadang kadang terjadi. Resistensi terhadap infeksi bakteri sekunder tidak berubah. Ensefalitis serupa dengan ensefalitis yang ditemukan pada rubeola yang terjadi pada sekitar 1/6.000 kasus. Prognosis rubella anak adalah baik; sedang prognosis rubella kongenital bervariasi menurut keparahan infeksi. Hanya sekitar 30% bayi dengan ensefalitis tampak terbebas dari defisit neuromotor, termasuk sindrom autistik.
Kebanyakan penderitanya akan sembuh sama sekali dan mempunyai kekebalan seumur hidup terhadap penyakit ini. Namun, dikhawatirkan adanya efek teratogenik penyakit ini, yaitu kemampuannya menimbulkan cacat pada janin yang dikandung ibu yang menderita rubella.
Cacat bawaan yang dibawa anak misalnya penyakit jantung, kekeruhan lensa mata, gangguan pigmentasi retina, tuli, dan cacat mental. Penyakit ini kerap pula membuat terjadinya keguguran.