I. PENDAHULUAN
Sesuatu yang tidak biasa terjadi seringkali dikatakan sebagai kelainan. Demikian juga dalam hal seksual. Adakalanya terjadi deviasi seksual pada sebagian orang. Deviasi seksual merupakan gannguan arah dan tujuan seksual. Arah dan tujuan, dalam hal ini bukan lagi merupakan pasangan seks yang lain (dalam hal hubungan heteroseksual yang dianggap normal). Cara utama untuk mendapatkan kepuasan seksual ialah dengan objek lain atau dengan cara lain yang dianggap keluar dari batas normal.1
Umumnya deviasi seksual ini dikategorikan sebagai parafilia. Parafilia merupakan gangguan perilaku psikoseksual 1, yang menyimpang dari norma-norma dalam hubungan seksual yang secara social tidak dapat diterima.2 Penderita senantiasa menggunakan fantasinya untuk mencapai kepuasan seksual. Fantasi ini cenderung berulang mendadak dan terjadi dengan sendirinya. Penyebab utama biasanya berhubungan dengan faktor psikologis. Sedangkan gangguan fungsi karena kelainan atau gangguan organik pada alat kelamin, tidak dimasukkan dalam parafilia.1
Istilah voyeurism, dari kata Prancis berarti melihat, mengacu pada keinginan untuk memandang tindakan dan ketelanjangan hubungan seks.2 Voyeurisme ialah keadaan seseorang yang harus mengamati tindakan sexual atau ketelanjangan (orang lain) untuk memperoleh rangsangan dan pemuasan seksual.3 Voyeurisme adalah preokupasi rekuren dengan khayalan dan tindakan yang berupa mengamati orang lain yang telanjang atau sedang berdandan atau melakukan aktivitas seksual. Gangguan ini juga dikenal sebagai skopofilia. Masturbasi sampai orgasme biasanya terjadi selama atau setelah peristiwa.4 Voyeurisme ini merupakan kegiatan mengintip yang menggairahkan dan bukan merupakan aktivitas seksual dengan orang yang dilihat. Sebagian besar pelaku voyeurisme ialah dari golongan pria.5
II. EPIDEMIOLOGI
Voyeurisme paling sering terjadi pada laki-laki, tetapi tidak tertutup kemungkinan terjadi pada wanita. Biasanya terjadi pada remaja yang mulai meningkat dewasa, rata-rata pada usia 15 tahun, belum ada data pasti mengenai voyeurisme pada orang dewasa, begitu pun juga mengenai prevalensinya. 2,6
Orang dengan voyeurisme jarang ditangkap karena voyeurisme sifatnya tidak menyakiti orang lain dan dilakukan secara tersembunyi. Pada sebagian kalangan, kebiasaan ini dianggap lazim untuk anak remaja, mereka mulai dapat menikmati gambar yang berbau pornografi sampai mengintip percumbuan dari orang lain secara terang-terangan atau tersembunyi.4,6,7
III. ETIOLOGI
Terdapat banyak teori yang berhubungan dengan terjadinya deviasi seksual ini. Tetapi hingga saat ini belum satupun teori yang dianggap tepat untuk menjelaskan mekanisme terjadinya kelainan ini. 7
Meskipun demikian, sebagian peneliti mengatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya voyeurisme ini adalah trauma pada usia anak. Misalnya penyimpangan seksual terhadap anak (sexual abuse) atau suatu pengalaman pada masa kanak-kanak sehingga anak-anak bertumbuh kembang dengan kegiatan voyeurisme ini.8 Selain itu, pengaruh dari media informasi yang menyumbang pada kebebasan pornografi sehingga berdampak pada kegiatan voyeurisme ini.1
Kebanyakan ahli juga berpendapat bahwa rata-rata kejadian voyeurisme diawali dengan ketidaksengajaan melihat orang sedang telanjang, sedang melepas pakaian, atau orang yang sedang melakukan hubungan seksual. Hal ini kemudian akan menjadi impuls berupa dorongan (kompulsif) untuk terus melihat dan akhirnya terbentuklah kebiasaan voyeurisme.8
IV. GAMBARAN KLINIS
Kriteria dari deviasi seksual ini adalah meningkatnya nafsu seks, fantasi, dan perilaku seseorang untuk terus mengintip korbannya yang telanjang atau sedang melakukan hubungan seksual tanpa korbannya menyadari. Fantasi, dorongan dan kebiasaan untuk melakukan aktivitas voyeuristik dalam hal ini tidak dapat dikendalikan sehingga menimbulkan distress bagi orang tersebut bila tidak mengulangi perbuatannya. Bahkan pada tahap berat, kegiatan voyeurisme ini akan menyebabkan penderitaan dan frustasi berat kepada si pelaku sehingga mengganggu aktivitas hariannya.8
V. DIAGNOSIS
Menurut American Psychiatric Association dalam Diagnostic and Statistical Mannual of Mental Disorder fourth edition (DSM-IV), kriteria diagnosa untuk voyeurisme ialah seperti berikut :
1. Seseorang dengan kebiasaan melihat orang yang sedang telanjang, menanggalkan pakaian, atau orang lain yang sedang melakukan aktivitas seksual, yang dilakukan untuk membangkitkan hasrat seksual, dilakukan berulang kali, dan terus menerus dalam kurun waktu minimal 6 bulan.
2. Pelaku voyeurisme mengalami penderitaan dan frustasi berat sehingga mengganggu hubungan sosial, pekerjaan, dan aktivitas hariannya yang lain disebabkan oleh fantasi seksual dan kegiatan pengintipannya.2,4 ,9
Menurut PPDGJ-III, pedoman diagnostic pada voyeurisme adalah;
1. Kecenderungan yang berulang atau menetap untuk melihat orang yang sedang berhubungan seksual atau berprilaku intim seperti sedang menanggalkan pakaian.
2. Hal ini biasanya menjurus kepada rangsangan seksual dan masturbasi, yang dilakukan tanpa orang yang diintip menyadarinya.7
VI. TERAPI
Penyimpangan seksual tidak hanya bersangkutan dengan pemuasan dorongan seksual saja tetapi seringkali merupakan mekanisme pertahanan diri terhadap perasaan-perasaan tidak senang. Ketakutan-kecemasan, dan depresi. Oleh karena itu usaha penyembuhannya di samping menggunakan pendekatan klinis, juga menggunakan metode multidisipliner. Terapi dapat berupa psikoterapi, terapi perilaku, kognitif, sosioterapi, terapi hormonal dan farmakoterapi
Psikoterapi
Psikoterapi berorientasi tilikan adalah pendekatan yang paling sering digunakan untuk mengobati parafilia. Pasien memiliki kesempatan untuk mengerti dinamikanya sendiri dan peristiwa-peristiwa yang menyebabkan perkembangan parafilia. Secara khusus, mereka menjadi menyadari peristiwa sehari-hari yang menyebabkan mereka bertindak atas impulsnya. Psikoterapi juga memungkinkan pasien meraih kembali harga dirinya dan memperbaiki kemampuan interpersonal dan menemukan metoda yang dapat diterima untuk mendapatkan kepuasan seksual..4
Cognitive-Behavioral Therapy (CBT)
Pada terapi ini seorang voyeur harus belajar untuk mengendalikan impuls (dorongan) untuk melihat aktivitas seksual orang lain dan memahami cara mendapatkan kepuasan seksual yang sebenarnya. Pasien diberi keberanian dalam mengutarakan masalah yang terdapat pada perilaku mereka serta berusaha mengubah pola piker yang salah. Terapi ini juga menggabungkan teknik yang mencegah terjadinya relaps yaitu dengan membantu pasien untuk mengontrol perilaku yang tidak diinginkan dengan cara menghindari situasi yang mungkin membangkitkan keinginannya tersebut. Keberhasilan terapi ini belum jelas.
Farmakoterapi
Farmakoterapi biasanya diberikan pada voyeurisme yang sulit terkendali dengan psikoterapi maupun Behavioral terapi. Farmakoterapi bertujuan untuk menurunkan dorongan yang kuat (kompulsif) yang dihubungkan dengan parafilia.
Beberapa golongan obat yang dapat membantu penyembuhan antara lain:
1. Anti depresan
2. Preparat hormonal- GnRH (gonadotropin-releasing hormones)
3. Anti-androgen, Cyproteron Asetat (CPA) dan Medroxyprogesteron Asetat (MPA)1
Sosioterapi
Pendekatan kepada penderita hendaknya dengan penuh pengertian, tidak dengan menghakimi atau mempersalahkan. Selain itu, bisa dicoba untuk menyelami perasaan, karena acapkali gangguan tersebut terbentuk dari keinginan dan pengalaman masa lalu. 1
PROGNOSIS
Prognosis parafilia pada umumnya tergantung dari respon pasien terhadap usaha penyembuhan.
Pasien dengan prognosa yang baik, mempunyai karakteristik sebagai berikut:
1. Bersifat kooperatif dengan pemeriksa
2. Mempunyai kehidupan seks yang normal di samping perilaku seks yang menyimpang.
3. Ada keinginan untuk berubah, dan aktif mencari pengobatan.
Pasien dengan prognosa yang buruk mempunyai karakteristik sebagai berikut:
1. Onset dini
2. Tidak ada motivasi untuk berubah
3. Tidak kooperatif dengan pemeriksa
4. Perlangsungan penyakit yang berulang dan lama
5. Tidak ada kehidupan seks yang normal. 4,6
PENCEGAHAN
Banyak ahli berpendapat bahwa dengan adanya pedoman mengenai perilaku yang menurut budaya setempat dapat diterima akan mencegah berkembangnya perilaku parafilia termasuk voyeurisme. Dalam banyak hal voyeurisme dapat ditemukan secara tidak sengaja dengan cara pemuasan seksual lainnya, tetapi tidak ada yang bias memprediksi bagaimana hubungan antara hal tersebut terjadi.8
Masyarakat dapat meminimalisir insiden voyeurisme dengan cara antara lain menutup tirai, menutup jendela rapat-rapat, dan melakukan aktivitas seksual di tempat tertutup dan sebaiknya tanpa cahaya lampu bagi yang tinggal di kawasan padat penduduk misalnya rumah susun, asrama, dan sebagainya.8
Selain itu diperlukan suatu undang-undang atau peraturan yang dapat menindak tegas setiap bentuk perilaku menyimpang seksual termasuk voyeurisme, yang dapat menyeret pelakunya ke meja hokum sehingga ada rasa takut untuk mengulangi perbuatannya, karena selama ini voyeurisme dianggap bukan sebagai tindakan kriminal karena sifatnya yang tidak menyakiti korbannya.
KESIMPULAN
Voyeurisme merupakan salah satu bentuk deviasi seksual yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan. Voyeurisme bisa terbentuk karena adanya kebolehan untuk menikmati media pornografi misalnya majalah, film dan sebagainya. Oleh karena insidens tertinggi voyeurisme terjadi pada umur 15 tahun (usia remaja menjelang dewasa), dalam hal ini diperlukan pengawasan yang ketat dari para orang tua dan masyarakat di sekitarnya. Pada dasarnya voyeurisme merugikan kedua belah pihak yaitu pelakunya sendiri dan korban tentunya. Voyeurisme sulit untuk dihentikan bila tidak ada motivasi dan kesadaran dari pelakunya, diperlukan suatu aturan hokum yang dapat menindak tegas pelakunya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Suryana, Yaya. S.Ked : Parafilia Sebagai Deviasi Seksual dan Pengobatannya, http://www.indomedia.com.
2. Robert Levey, PhD, MPH : Sexual and Gender Identity Disorders, http://www.emedicine.com
3. Maramis, W.F. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Universitas Airlangga, Surabaya; hal. 299-321.
4. Kaplan, Harold I, MD, Sadock Benjamin J, MD,Sinopsis Psikiatri-ilmu pengetahuan perilaku psikiatri klinis. Edisi ke-7. jilid 2. hal. 155-66.
5. Anonim : Parafilia, http://www.medicastore.com
6. Anonim : Voyeurism, http://allpsychonline.com.
7. Maslim Rusdi ,Dr. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa-FK-Unika atmajaya, Jakarta; 2001. hal. 112-4
8. Cameron, Norman,. Personality Development and Psychopathology, A Dinamic Approach, Yalf Unifersity, Mifflin Company – Boston; 2001. hal. 667
9. Diagnostic and Statistical Mannual of Mental Disorder fourth edition (DSM-IV), American Psychiatric Association, Washington DC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar