Hari ini perempuan itu datang lagi dengan wajah dan ekspresi yang sama seperti minggu-minggu sebelumnya. Sudah enam bulan terakhir ini pada setiap minggunya dia datang untuk mengecek surat untuknya.
”Maaf Mas, apa ada surat untuk yang bernama Karmila?” ucapnya padaku dengan nada ragu
”Tunggu sebentar ya Mbak”ucapku sambil memilah-milah surat yang telah disortir.
Selang beberapa saat kemudian aku tak kunjung menemukan surat untuknya
”Maaf mbak surat untuk anda tidak ada” ucapku
”Kalo begitu ini, ada surat untuk saya kirim lagi ” kata perempuan itu sambil memberikan surat yang ditujukan kepada ”Akzan” yang beralamat di Jakarta, dan kemudian pergi meninggalkan Kantor Pos.
Aku tidak tahu pasti apa gerangan yang sedang dialami perempuan itu. Perempuan yang berusia sekitar 23 tahun itu seolah-olah sedang dalam penantian. Menurut kabar dari orang-orang yang mengenalnya sekitar dua tahun yang lalu dia bertunangan lalu kemudian tunangannya itu ke Jakarta dan sampai sekarang tak ada kabar.
Seminggu berselang, perempuan itu datang lagi dengan tujuan yang sama seperti minggu-minggu sebelumnya, mengecek surat untuknya dan jika tidak ada maka dia akan mengirim surat lagi ke alamat yang sama. Akupun mencoba memberanikan diri untuk menannyakan langsung kepada perempuan itu saat dia duduk di kursi antrian setelah menanyakan suratnya.
”Perkenalkan mbak, nama saya Aris, boleh saya duduk?” ucapku membuka pembicaraan sambil menjulurkan tangan kananku untuk bersalaman
”Silahkan..” ucap perempuan itu sambil berjabat tangan denganku
”Maaf mbak, kalau boleh tau Akzan ini siapa? Dari dulu sampai sekarang suratnya ditujukan kepada dia?”
Perempuan itu hanya diam saja, aku pun juga ikut diam, tapi tidak berselang lama kemudian diapun menjawab pertanyaanku
”Akzan itu tunangan saya” jawabnya singkat
”Maaf mbak, kenapa tidak di telepon atau di SMS saja?” ucapku
”Saat dia ke Jakarta dia belum pernah memberi nomor teleponnya disana, bahkan alamatnya di Jakarta saja aku tahu dari surat terakhir yang dikirimnya” ucapnya tegas
”Oh... sabar yah mbak...”
”Terima kasih Mas”
Seminggu berselang perempuan itu datang lagi, namun setelah itu dia sudah tidak kunjung datang lagi ke kantor pos selama sebulan. Hari-hari pun seperti biasanya kegiatanku di kantor pos melayani masyarakat sambil menyortir surat-surat yang masuk, namun sepintas aku lihat surat yang ditujukan kepada Karmila.
Jam menunjukkan pukul 14.00, saatnya untuk mengantarkan surat-surat yang sudah disortir. Surat untuk Karmila aku urutkan pada urutan paling bawah. Setelah semua surat telah kuantarkan maka giliran rumah Karmila. Pintu kuketuk tak lama berselang Karmila pun keluar dengan wajah tenang dan segera kuberikan surat untuknya
”ini surat untuk Mbak” ucapku sambil tersenyum
Kulihat wajahnya yang heran seolah tak percaya dan tak lama kemudian tersenyum sambil mengambil surat itu dari tangan kanannku.
Dengan tergesa-gesa diapun membuka surat itu, namun tak lama kemudian wajah cerianya berubah seolah hatinya sedang dicabik-cabik namun tak lama kemudian wajah tenangnya kembali muncul , entah apa isi surat itu dan sepertinya jauh dari harapan dan apa yang dinantikannya selama ini. Kucoba untuk bertanya apa yang sedang dia alami
”Apa yang terjadi mbak, apa ada yang bisa saya bantu?”
Dengan menghela nafas sejenak diapun menjelaskan padaku
”Mungkin inilah jawaban atas penantian dan doa-doaku selama ini, surat ini biar Mas Aris saja yang simpan” sambil mengembalikan surat itu padaku
Dalam perjalanan pulang aku membaca Surat yang ditujukan untuk Karmila
Kepada Adinda Karmila
Dinda..
Maaf kan semua salahku selama ini, setiap minggu surat dinda kuterima namun tak pernah aku balas walaupun sebenarnya dinda hanya ingin tahu keadaanku lewat surat-surat yang dinda kirim.
Dinda..
Maaf kan aku juga karena mungkin harus berterus terang bahwa sejak enam bulan yang lalu saya sudah berkeluarga di sini tanpa memberitahukan pada dinda dan melanggar pertunangan kita. Surat ini juga aku kirim atas permintaan isteri saya saat dia melihat surat-surat dinda.
Dinda..
Maaf kan aku dan tidak usah menantikan kedatanganku
Wassalam
Akzan
Dalam perjalanan pulang aku renungkan bahwa telah kulihat sikap kesetiaan dari seorang perempuan muda saat berulang kali dia menanyakan surat yang selalu dinantikan dan kulihat pula ketegaran seorang perempuan saat mengetahui bahwa apa yang dianantikannya selama ini adalah kekeliruan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar