Kini dunia tengah menghadapi gejala alam yang disebut sebagai global warming (pemanasan global) sebagai efek dari rumah kaca. Di antara dari sekian akibatnya adalah terjadinya perubahan iklim tak menentu.
Barangkali kita sudah merasakan, cuaca panas begitu menyengat. Demikian pula, pada saat musim hujan, turunnya air tak seperti biasanya, sehingga kadang dapat menimbulkan banjir yang sangat hebat. Antara musim hujan dan musim panas, terjadi silih-berganti seperti tak memiliki batasan lagi, itulah yang dimaksud pengamat lingkungan sebagai ciri-ciri perubahan iklim yang tak menentu sebagai efek dari global warming.
Alam terasa sudah tak bersahabat dengan kita, oleh karena kerakusan dan kejahilan kita yang tak memperlakukannya secara manusiawi. Hutan dibabat habis, pasir laut dikeruk secara massif, air dicemari oleh limbah, udara dipenuhi polusi, gunung dirusak, dan perilaku destruktif manusia lainnya. Ketika telah sampai pada satu titik, dimana alam sudah tak lagi bisa seimbang, pada saat itu juga munculah fenomena alam seperti global warming.
Anehnya, ketika fenomena itu muncul, masih ada saja masyarakat yang berasumsi bahwa itu hanyalah sekadar bencana. Dalam pengertian, tidak dilihat sebagai konsekuensi dari perbuatan manusia, melainkan atas kehendak Tuhan.
Atau dalam istilah teologis, keyakinan semacam itu disebut sebagai “masyarakat agamis” yang menggariskan sesuatu berdasarkan atas paksaan Tuhan (jabariah), yang meyakini bahwa Tuhan murka pada penduduk sebuah negeri di mana di dalamnya orang-orang sangat rajin dan pandai membuat serta memelihara dosa-dosa.
Keyakinan semacam itu jelas berbahaya, karena Tuhan akan dipersalahkan sebagai biang dari segala bencana di dunia. Atau dalam bahasa Gottfried Leibniz (Roth, 2003:151), Tuhan di situ seakan-akan menjadi terdakwa (blaming the God), sebagai akibat terjadinya bencana.
Menurut Leibniz, Tuhan tak patut dipersalahkan, bahkan kemuliaan dalam eksistensi-Nya tak terpengaruh dengan adanya dosa-dosa atau kebaikan-kebaikan di dunia, manusialah yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi di dunia (blaming the men).
Pergeseran Teologi
Pandangan teologi yang berseberangan dengan jabariah, atau teologi yang lebih menekankan pada kehendak bebas manusia (qadariah), sebetulnya lebih relevan untuk menjelaskan fenomena seperti global warming.
Relevan bukan sebatas penjelasannya yang adil dan bijaksana dalam menempatkan kodrat manusia (theodice) yang dihubungkan dengan alam atau lingkungannya, dan di sisi lain dengan keberadaan musibah itu sendiri.
Teologi qadariah juga relevan oleh sebab dapat menghindarkan manusia dari mitologi-mitologi sosial yang biasanya merebak dan akhirnya membawa pada kesesatan dan kegelapan alam pikiran manusia.
Teologi itu pada prinsipnya ingin menegaskan bahwa manusia memiliki kehendak untuk berbuat sebebas-bebasnya, dan dia harus bertanggung jawab atas segala tindakan yang sudah diperbuatnya. Maka dari itu, jika ada fenomena global warming, sebetulnya itu merupakan cerminan, seakan-akan mempertanyakan sudah berbuat dan bertindak apa saja manusia di bumi ini? Berbuat dan bertindak bukan dalam pengertian manusia telah melakukan dosa-dosa lalu kemudian Tuhan murka dan menimpakan bencana itu.
Tapi lebih karena tindakan dan perbuatan manusia yang dilakukan atas alam dan lingkungan, seperti pengeboran atas kekayaan perut bumi yang semena-mena, pengerukan pasir laut dalam skala yang cukup massif, penggundulan hutan, dan sebagainya. Segala tindakan dan perbuatan itulah yang kemudian lambat laun akan membuat alam menjadi murka, sehingga fenomena global warming tak bisa terhindarkan.
Hal itu sesungguhnya sesuai seperti tersirat dalam kitab suci sendiri, yang secara bebas berbunyi, bahwa kerusakan di darat dan di laut yang tampak, disebabkan oleh perbuatan tangan manusia. Maka sebagai akibat dari perbuatannya (datanglah bencana), supaya manusia merasakan sebagian dari ulah dan perbuatannya agar mereka kembali ke jalan yang benar (Al-Quran, 30:41).
Jelaslah bahwa fenomena global warming tak lain dan tak bukan karena sebenarnya diakibatkan oleh kita sendiri sebagai manusia. Banyak dari kita yang tidak bertanggungjawab terhadap pengelolaan alam dan lingkungan.
Berhentilah kita menyalahkan sesuatu yang ada di luar kita, seperti Tuhan misalnya. Bahkan menurut Ignaz Goldziher (1991), oleh karena ulah tangan manusia, maka manusiapun sesungguhnya dilarang untuk menyalahkan Setan sekalipun. Setan menolak dimintai pertanggungjawabannya pada hari akhir nanti oleh karena kesalahan dan dosa perbuatan manusia.
Teologi Memperlakukan Bumi
Hassan Hanafi dalam karyanya Religion, Ideology, and Developmentalism (1990) menawarkan apa yang dikenal sebagai teologi untuk memperlakukan bumi. Bagaimana semestinya bumi ini diperlakukan?
Menurut Hanafi, bumi merupakan ciptaan Tuhan yang harus dikelola manusia secara baik dan benar. Tak ada satupun manusia yang sesungguhnya berhak mengklaim memiliki barang sejengkalpun terhadap bumi, karena bumi ini adalah milik-Nya. Oleh karenanya, tak dibenarkan jika ada manusia yang arogan ketika merasa memiliki tanah di bumi.
Arogansi dalam pengertian, misalnya, ketika manusia merasa memiliki jengkal tanah di bumi, lalu dia berbuat seenaknya sendiri; mengebor, mengeruk, mengeksploitasi, tanpa memikirkan apa akibatnya. Juga arogansi seperti, oleh karena manusia hidup di alam dan ling-kungan, lalu ia seenaknya mengotori dan mencemari alam dan lingkungan dengan polusi serta berbagai perbuatan lainnya yang sesungguhnya akan merusak bumi.
Teologi selama ini sangat jarang diperkenalkan oleh para penceramah keagamaan melalui pendekatan yang di-relevansikan dengan alam dan lingku-ngan. Seakan-akan tak ada kaitan antara teologi keagamaan dan alam serta lingkungan. Jarang umat beragama menyentuh persoalan itu.
Sesungguhnya sebagai konsekuensi dari teologi itu, umat beragama semestinya mengimplementasikannya ke seluruh aspek dalam kehidupan, tak terkecuali dengan masalah-masalah alam dan lingkungannya (environmentalism).
Jika selama ini kita menganggap kaum beragama, sudah semestinya teologi agama kita tak hanya cukup sampai pada keyakinan, namun tak ada aktualisasinya dalam kehidupan. Misalnya, kita mengaku bahwa kita orang beragama, tapi perbuatan kita masih mencemari polusi udara, membuang sampah sembarangan, mengeksploitasi bumi secara semena-mena, dan sebagainya. Perbuatan dan tindakan itu tidak pantas dilakukan oleh orang beragama.
Saatnya kita membumikan teologi agama ini dalam realitas dan praksis kehidupan. Agama yang mengajarkan kebaikan-kebaikan harus diaktualisasikan dalam kehidupan sehingga pada akhirnya kita akan dapat terhindar dari segala marabahaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar